ASAL mula nama Gunung Tambora
menurut cerita turun temurun ada dua versi, yaitu: Pertama, berasal dari kata
lakambore dari bahasa Bima yang berarti mau ke mana, untuk menanyakan tujuan
bepergian kepada seseorang. Kedua, dari kata ta dan mbora, dari bahasa Bima,
kata "ta" yang berarti mengajak, dan kata "mbora" yang
berarti menghilang, sehingga arti kata Tambora secara keseluruhan yaitu
mengajak menghilang.
Ini berasal dari cerita turun
temurun, dahulu ada seseorang sakti yang pertama kali ke gunung tersebut
(sekarang Gunung Tambora), bertapa dan tidak diketemukan lagi karena telah
menghilang di gunung tersebut. Kalau istilah bahasa Jawa-nya moksa, yaitu
menghilang jasadnya secara tiba-tiba dan bisa dilihat oleh orang-orang tertentu
yang mempunyai kemampuan dalam melihat roh halus. Kemudian orang sakti yang
menghilang tersebut pernah menampakkan diri di sebuah pulau yang terletak di
sebelah barat laut Pulau Sumbawa juga dapat terlihat dari puncak Gunung
Tambora. Maka pulau tersebut dinamai Pulau Satonda dari kata tonda yang berarti
tanda/jejak kaki. Pulau tersebut dapat dilihat dari puncak Gunung Tambora,
tampak dari atas berbentuk telapak kaki kanan manusia. Pulau Satonda sangat
indah dengan pemandangannya yang masih alami, di tengah-tengah pulau tersebut
terdapat danau yang jernih dan dikelilingi oleh tebing-tebing dari perbukitan
yang masih alami. Diduga danau di Pulau Satonda tersebut mempunyai terowongan
dari gua bawah laut menyambung dengan laut. Pulau Satonda dengan ketinggian
antara 0 sampai 300 mdpl merupakan taman rekreasi (recreation park) dengan
wilayah seluas 1.000 Ha mempunyai ciri-cirinya yang unik.
Sekarang pulau tersebut telah
menjadi kawasan yang dilindungi (strict nature reserve). Pulau Satonda sangat
baik untuk menjadi tempat untuk mempelajari hutan, karena hutan di pulau
tersebut hancur akibat letusan Gunung Tambora pada tahun 1815. Juga banyak
ditemukan jenis-jenis ikan yang baru dan hanya ditemukan di Danau Satonda saja.
Pulau tersebut menjadi habitat sejumlah besar jenis-jenis burung yang
dilindungi. Kesemua keindahan alam yang menjadi satu kesatuan menciptakan suatu
fenomena indah, unik.
Pesona alam di Gunung Tambora makin
menambah keelokan panorama alam Indonesia. Kita semua wajib untuk mengenali dan
melestarikannya. Alam Indonesia menjadi obyek penelitian yang sangat menarik
oleh para ilmuwan.
Bernice De Jong Boers, ilmuwan asal
Denmark dalam makalah revisinya bertajuk "Mount Tambora in 1815: “A
Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath" menggambarkan, Pulau
Sumbawa sebelum meletusnya Gunung Tambora sebetulnya dalam keadaan cukup baik
secara ekonomi. Jauh sebelumnya, di Sumbawa jauh lebih lebat hutannya. Ketika
orang pertama datang, sebagian dari hutan ditebang untuk berladang.
Sekitar tahun 1400, orang- orang
Jawa memperkenalkan cara bertanam padi di sawah dan mulai mengimpor kuda.
Semakin lama jumlah penduduk berkembang. Orang mengandalkan hidup terutama dari
beras, kacang hijau, dan kuda. Sementara dari perkebunan orang mengandalkan
kopi, lada, dan kapas yang bisa tumbuh subur.
Di kawasan itu telah terdapat pula
hubungan dagang. Pada masa itu Kerajaan Bima umumnya terbuka dari dunia luar.
Dari segi ekonomi, perniagaan merupakan penghasilan utama dengan komoditas
ekspor utama sebelum 1815 ialah beras, madu, kapas, dan kayu merah.
Setelah Tambora meletus,
kesejahteraan yang terbangun itu runtuh. Saat itu terdapat enam kerajaan kecil
di Pulau Sumbawa. Syair Kerajaan Bima menyebutkan dua kerajaan punah terkubur,
yakni Pekat dan Tambora. Jauh setelah kejadian, muncul berbagai spekulasi bahwa
terdapat istana kerajaan yang terpendam dengan beragam kekayaan. Apalagi dari
penggalian yang dilakukan Sigurdsson dari Universitas Rhode Island, AS, dan tim
dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sempat ditemukan
keramik-keramik yang diperkirakan bermotif Vietnam. Muncul pula dugaan hidupnya
orang-orang berbahasa Mon-Khmer, bahasa yang tidak lazim dituturkan di
Nusantara.
Asumsi-asumsi tersebut diragukan
Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
Nasional, yang sempat mengunjungi lokasi penggalian Sigurdsson. "Istilah
kerajaan di luar Pulau Jawa tidak dapat disamakan dengan kerajaan besar di Jawa
yang kaya raya. Jadi, jangan dibayangkan istana kerajaan seperti istana
raja-raja di Jawa. Selain itu, temuan keramik yang mempunyai kesamaan dengan
tembikar dari kawasan Indocina bukan berarti menandakan hidup populasi
pendukung budaya Khmer. Tembikar itu sepertinya buatan China dan dapat saja
sampai di Tambora karena adanya perdagangan," kata Bambang. Dia menyayangkan
penelitian tersebut tidak melibatkan para arkeolog.
Setelah letusan, keadaan di sekitar
Tambora—terutama di Bima—pun berbalik. Tanah yang tak dapat ditanami selama
lima tahun membuat kelaparan dan kemelaratan berkepanjangan.
Kini, berjalan di lereng Tambora, tentu berbeda
suasananya. Rumput tebal mengisi permukaan tanah, yang hampir dua abad lalu
berselimut abu vulkanik. Lereng gunung itu menghijau, dengan hutan serta semak
yang rimbun. Tanah telah kembali memberi berkah. Sebagian besar penduduk di
lereng Tambora hidup dari pertanian dan perkebunan. Ada pula yang menjadi
pemandu naik gunung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar